BENARKAH DEMOKRASI DI GARONG DARI GORONG- GORONG HINGGA MENJADI OMONG KOSONG DAN BUMBUNG KOSONG ?

Surabaya, mediasaberpungli.com- Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak berlangsung pada Rabu, 27 November 2024 di seluruh Indonesia. Serentak dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan tindak lanjut Putusan MK Nomor 14 Tahun 2013 untuk memperkuat Sistem Presidensial. Menjelang pemungutan suara suhu politik di tanah air kembali memanas. Mengacu pada data KPU Pilkada 2024 akan digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Anggaran Pilkada 2024 untuk KPU mencapai Rp 28,76 triliun dan untuk Bawaslu Rp 8,63 triliun. Kampanye Pilkada akan dimulai secara resmi pada 25 September – 23 November 2024. Sejak Pilkada 2015 hingga 2024, jumlah calon tunggal yang mengikuti Pilkada terus meningkat serta polemik terkait wacana percepatan waktu penyelenggaraan Pilkada 2024, disisi lain akan menimbulkan tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.

Dalam putusan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi menegaskan Pilkada harus digelar sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Perubahan jadwal Pilkada dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan Pilkada serentak. Bumbung kosong atau kotak kosong sangat populer di masyarakat muncul dari politik Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) jika calonnya tunggal maka pemilih juga berhak untuk tidak memilih calon tunggal alias memilih kotak kosong. Warga yang mengaku sebagai relawan telah melakukan aksi untuk mendeklarasikan sekaligus akan berkampanye pendukungan terhadap bumbung kosong di sejumlah daerah melawan calon tunggal atau petahana.

Bacaan Lainnya

Menyikapi hal tersebut timbul reaksi dan beragam persepsi. Pertanyaannya adalah apakah bumbung kosong dijadikan momentum omong kosong karena kantong kosong ? Benarkah demokrasi dijadikan alasan untuk memanfaatkan bumbung kosong demi kantong kosong ? Mungkinkah upaya yang dilakukan berimbas kepada semua lapisan masyarakat terutama masyarakat kategori miskin ?.

Apakah untuk kepentingan pribadi, komunitas atau organisasi ?

Di negara demokratis dalam konteks kebebasan berekspresi selama tidak melanggar hukum mendapatkan tempat yang sama. Kampanye bumbung kosong bukan sekadar seruan untuk memilih tetapi merupakan ekspresi politik yang nyata dari kekecewaan. Sejak kapan bumbung kosong di jadikan kotak kosong ? Betul tidak rezim saat ini menggarong demokrasi dari gorong-gorong hingga menerapkan bumbung kosong ? Partai politik atau gabungan partai politik apa yang telah menjadikan penggarong sebagai Presiden ?

Bumbung kosong tetap sah untuk dicoblos pada surat suara jika pemilih merasa tidak terwakili oleh calon tunggal. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai legitimasi bumbung kosong dalam proses pemilihan dan relevansinya bagi demokrasi itu sendiri. Satu-satunya pasangan calon yang berkompetisi di Pilkada tetap melakukan pengundian, apakah calon tunggal mendapatkan nomor urut 1 atau nomor urut 2 atau sebaliknya.

Skema pemilihan dengan satu pasangan calon melawan bumbung kosong bukan hal baru. Motivasi para elit politik membentuk skenario kotak kosong adalah dari sisi regulasi dan koalisi dengan threshold yang tinggi agar menyulitkan calon-calon kepala daerah yang berpotensi dalam menggalang dukungan. Para calon dipaksa dalam skema yang telah dipersiapkan partai politik menengah dan besar. Koalisi Indonesia Maju berharap penuh akan terciptanya pembangunan yang ideal antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah yang sejalan. Konstruksi pencalonan Pilkada adalah titik krusial untuk mendorong harapan yang dimaksud.

Mengapa tidak dipilih secara aklamasi seperti sidang MPR pada masa lalu, Presiden dan Wakil Presiden terpilih ? Bagaimana mengantisipasi kekosongan politik Pilkada jika bumbung kosong yang menang seperti kasus di Makassar pada Pilkada 2020 ? Maka sesuai dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2016, posisi kepala daerah akan diisi oleh Penjabat (Pj) hingga Pilkada serentak berikutnya. Opsi Pilkada ulang di dasari oleh Undang-Undang Pilkada. Kondisi fiskal daerah jika harus melaksanakan Pilkada ulang tahun 2025, apakah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ?

KPU, DPR, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu telah bersepakat saat rapat dengar pendapat. Dalam hal pemilihan berikutnya, dimaknai pada tahun berikutnya yang artinya dilaksanakan satu tahun berikutnya yaitu 2025. Sebagaimana yang dimaksud dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XVII/2019 alokasi anggaran dibebankan pada APBD. Faktor penyebab munculnya banyak kotak kosong di sejumlah daerah pada Pilkada 2024 salah satunya adalah ongkos politik yang mahal. Secara realistis dan pragmatis perolehan suara tinggi pasangan calon terpilih hasil Pilkada bukanlah garansi mutlak pasangan calon tersebut nantinya dapat bertindak profesional dan berintegritas saat memimpin daerah.

Kausalitas maraknya kasus korupsi yang menimpa kepala daerah tidak lepas dari adanya praktik politik uang sebagai jalan untuk meraih kemenangan. Sehingga saat menjabat, kepala daerah terpilih berusaha keras mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dengan berbagai cara.

Artikel : Eko Gagak

(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *